Jangan Samakan Agama dan Moralitas
Rangkaian sudut pandang yang berbentuk
artikel dan komentar dengan topik mengenai agama dan moralitas kerap
mampir di ruang blog warga Kompasiana.
Nah, coretan ringan saya ini justru lahir dari aneka perspektif yang bertebaran itu. Sekaligus saya sampaikan bahwa ini hanyalah salah satu cara pandang dari kemungkinan begitu banyaknya sudut pandang yang lain ketika berbicara tentang agama dan moralitas.
Nah, coretan ringan saya ini justru lahir dari aneka perspektif yang bertebaran itu. Sekaligus saya sampaikan bahwa ini hanyalah salah satu cara pandang dari kemungkinan begitu banyaknya sudut pandang yang lain ketika berbicara tentang agama dan moralitas.
Fokus saya hanya mengenai hubungan antara agama dan moralitas. Saya mengangkat topik ini karena sebagian tulisan yang saya baca di kompasiana menyamakan agama dan moralitas. Artinya, apa yang diajarkan dalam agama merupakan standar baku bagi moralitas. Dengan kata lain, agama merupakan hulu dan hilir moralitas. Bahkan, secara ekstrim sebagian orang menganggap agama sebagai acuan satu-satunya moralitas.
Lumrah dan masuk akal bila kita
menganggap ajaran-ajaran agama yang kita anut menjadi standar dan
rujukan bagi nilai-nilai moral. Di sini berlaku hukum: apa yang agama
anggap benar, secara moral hal itu pasti benar – apa yang agama
anggap salah, secara moral itu sudah salah. Implikasi pandangan ini
memang bisa positif. Orang bisa menghayati agamanya dengan benar dan
sekaligus meletakan nilai-nilai moral dalam praktek hidup
sehari-hari.
Walaupun lumrah, pandangan ini
sebetulnya tidak sepi dari masalah. Mengapa? Sepintas lalu, kerangka
berpikir seperti itu barangkali mulus dalam kelompok masyarakat
dengan agama yang homogen. Tapi itu juga belum tentu. Sebab di dalam
internal sebuah agama tidak jarang memiliki penafsiran yang beragam
atas kitab suci dan ajaran-ajaran yang dinut. Ini kemudian
berimplikasi pada perbedaan nilai-nilai dan standar moral yang
dipercayai.
Masalahnya tidak hanya sampai di situ.
Penyamaan agama dan moralitas jauh lebih bermasalah ketika kita
berhadapan dengan kondisi masyarakat dengan pluralitas agama dan
aliran kepercayaan, termasuk negara-bangsa Indonesia. Mau tidak mau,
dalam konteks seperti ini, agama tentu tidak bisa menjadi
satu-satunya sumber norma moral. Apalagi menyamakan norma moral
dengan ajaran agama atau moral dengan agama.
Lantas, kalau begitu, bagaimana norma
moral masyarakat pluralistis dihasilkan? Atau, apa rujukan penilaian
moralnya? Acauannya tidak lain kecuali harkat dan martabat manusia.
Nilai-nilai humanis menjadi rujukan utama. Apa yang bersifat
manusiawi itu pasti merangkul siapa pun tanpa dibatasi oleh
afiliasi-afiliasi tertentu, termasuk afiliasi agama.
Kemudian, norma-norma moral yang dianut
atau yang akan dianut di dalam sebuah masyarakat pluralistik itu
harus lahir dari sebuah tindakan dialog bersama yang bebas dan
setara. Prinsip utama dialog itu pun sebetulnya sederhana. Kalau kita
bicara tentang moralitas, pertama-tama kita berbicara mengenai soal
yang bertautan dengan akal. Dalam lingkup apa pun, hal yang benar
dilakukan secara moral ditentukan oleh alasan terbaik untuk
melakukannya secara manusiawi.
Bila nilai moral itu merujuk kepada
nilai-nilai kemanusiaan, itu tidak serta merta berarti bahwa
nilai-nilai moral yang bersumber pada agama itu dinafikan. Justru
ketika dialog dilakukan, nilai-nilai agama yang dianut pasti secara
tidak langsung akan melebur di sana. Toh, orang-orang yang terlibat
dalam dialog pasti akan membawa aspirasi dan nilai-nilai agama yang
diimaninya. Apalagi, kita tidak pernah menamukan bahwa ada ajaran
agama dan aliran kepercayaan, khususnya di Indosneia, yang anti
terhadap kemanusiaan. Semuanya justru pro-kemanusiaan.
Bila merujuk kepada penjelasan di atas,
agama dan moralitas itu tidak sama. Namun, nilai-nilai agama dan
nilai-nilai kemanusiaan itu sebetulnya tetap saling mengandaikan,
saling memperkuat, dan mengembangkan satu sama lain. Antara moralitas
dan agama itu sama sekali tidak saling menafikan dan meniadakan satu
sama lain.
Artikel ini sebelumnya diposting di Kompasiana
Artikel ini sebelumnya diposting di Kompasiana