Depolitisasi KPK, Mungkinkah?
gambar dari google |
Dalam acara Indonesia Lawyers Club (ILC) yang mengusung tema aktual 'Berwenangkah Praperadilan Menetapkan Boediono Tersangka?' beberapa waktu lalu, Fahri Hamzah
(selanjutnya disingkat FH), Wakil Ketua DPR yang sudah dipecat oleh partai
asalnya PKS, dengan suara lantang dan gemuruh menuduh KPK dikendalikan oleh
pihak/kekuatan tertentu.
Sayangnya, ketika ditanya untuk menunjuk pihak
yang dimaksud, FH berkelit tidak bisa menyebutkannya, takut dianggap fitnah.
Padahal, sebetulnya, kalau data yang dimiliki akurat, harusnya FH tidak perlu
takut jadi fitnah. Fakta dan data valid tidak bisa disebut fitnah, bukan? Atau
mungkin FH punya batasan sendiri atas istilah “fitnah” seperti Rocki Gerung
punya batasan sendiri untuk istilah fiksi dan fiktif? Entahlah.
Satu hal yang pasti, apapun yang terkait dengan KPK, FH selalu berapi-api dan seolah dengan “penuh nafsu” merisak lembaga antirasuah ini. Kritiknya kadang ngawur seperti orang yang sedang meracau. Lontaran kecamannya yang seakan lepas kendali tampak seperti ungkapan balas dendam dan pelampiasan sakit hati. Sayangnya, terhadap lembaga penegak hukum seperti Kejaksaan dan Kepolisian, mulut FH seperti sedang kelu dan impoten. Mengapa? Hanya FH yang tahu.
Tapi, pertanyananya, apakah kritik FH sepenuhnya aus tanpa makna? Menurut hemat saya, tidak juga. Tetap ada manfaatnya. Editorial sebuah media nasional, yang menurut saya kredibel, bahkan pernah menyoroti dengan jelas bolong-bolong kinerja KPK.
Satu hal yang pasti, apapun yang terkait dengan KPK, FH selalu berapi-api dan seolah dengan “penuh nafsu” merisak lembaga antirasuah ini. Kritiknya kadang ngawur seperti orang yang sedang meracau. Lontaran kecamannya yang seakan lepas kendali tampak seperti ungkapan balas dendam dan pelampiasan sakit hati. Sayangnya, terhadap lembaga penegak hukum seperti Kejaksaan dan Kepolisian, mulut FH seperti sedang kelu dan impoten. Mengapa? Hanya FH yang tahu.
Tapi, pertanyananya, apakah kritik FH sepenuhnya aus tanpa makna? Menurut hemat saya, tidak juga. Tetap ada manfaatnya. Editorial sebuah media nasional, yang menurut saya kredibel, bahkan pernah menyoroti dengan jelas bolong-bolong kinerja KPK.
Upaya lembaga ini yang telah membongkar banyak
kasus korupsi memang harus dan patut diapresiasi. Tetapi, apresiasi itu tidak
boleh meredupkan semangat untuk bersikap kritis terhadapnya, asalkan kritik itu
tidak terkesan asal bunyi. Sebab, faktanya, penanganan beberapa kasus yang
nilai kerugiannya besar memang terkesan lamban. Sebut saja penanganan kasus
BLBI atau kasus Century sebagai contoh.
Yang menarik, kelambanan (atau langkah hukum yang
terkesan tebang pilih) dari KPK atas kasus-kasus tertentu, disinyalir oleh sebagian
pihak, disebabkan oleh proses politik saat pemilihan komisionernya. Dugaan
seperti itu memang sulit untuk dibuktikan, tetapi logis jika dilihat dari
proses pemilihan dan penetapan pimpinan KPK. Lembaga ini sesungguhnya tidak
pernah lepas dari aspek politis. Komitmen ‘di belakang layar’ sangat mungkin
terjadi.
Unsur politis itu dilegalkan dalam Undang-Undang
No 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal 30
Ayat 1 berbunyi pimpinan KPK harus dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
berdasarkan calon yang diusulkan oleh presiden. Kewenangan terakhir penentuan
dan penetapan pimpinan KPK berada ditangan legislatif.
Kita tahu, DPR adalah lembaga politik, maka
setiap keputusan mereka akan kental dengan pertimbangan politis. Itu fakta yang
sulit dibantah kalau kita melihat dari tabiat para anggota dewan. Upaya lobi,
kesepakatan (deal) tersebunyi, dan kalkulasi politis sangat mungkin
terjadi dalam proses penentuan dan pemilihan komisioner KPK.
Kalau kita ingin KPK bebas dari dugaan “transaksi
politis”, pertanyaannya, bagaimana caranya? Menurut hematsaya, barangkali perlu
ada keberanian untuk melakukan dua terobosan yang konstruktif, dimana keduanya
erat bersangkut paut dan saling mengandaikan.
Pertama, mengubah proses
perekrutan pimpinan KPK. Tahap uji kelayakan dan kepatutan di DPR sebaiknya
ditiadakan. Langkah ini perlu diambil untuk mencegah meminimalisir lobi dan
kesepakatan tersembunyi antara oknum anggota dewan dan para calon pimpinan KPK,
sebagaimana sudah disinggung di atas.
Kewenangan untuk menentukan dan menetapkan
pimpinan KPK mungkin sebaiknya diserahkan dan ditangani sepenuhnya oleh Panitia
Seleksi (Pansel) KPK. Harapan, komisioner yang terpilih bisa bebas dari
kepentingan dan intervensi dari para elite politik.
Kedua, panitia seleksi sekaligus
menjadi dewan/komite pengawas/etik KPK. Selama ini kewenangan Pansel sangat
terbatas. Mereka hanya bertugas menyeleksi dan menyerahkan 10 (sepuluh) nama
calon pimpinan KPK kepada Presiden. Setelah itu, selesai.
Keterbatasan wewenang ini membuat Pansel terkesan
tidak bertangung jawab. Mengapa? Mereka telah memilih kandidat komisioner KPK
yang dianggap paling cakap dan mumpuni, tetapi kemudian melepaskannya begitu
saja (tentang tanggung moral pansel KPK bisa dibaca di sini).
Padahal, idealnya Pansel harus bertanggung jawab
terhadap produk yang dihasilkannya. Nah, bentuk tanggung jawab itu bisa
diwujudkan dengan menetapkan panitia seleksi menjadi dewan/komisi pengawas/etik
KPK. Mereka memiliki kewenangan untuk mengawasi, memantau, mengontrol, bahkan
mengevaluasi kinerja KPK khususnya dari aspek etis.
Hanya saja, upaya depolitisasi KPK ini memang
tidak mudah. Syarat dan tantangan yang menyertainya cukup berat.
Pertama, Undang-Undang No 30
Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (dan regulasi
terkait) harus direvisi secara terbatas, khususnya bagian pasal mengenai
kewenangan tim pansel.
Kedua, anggota panitia
seleksi harus benar-benar orang-orang terpilih, berintegritas, independen,
serta memiliki itikad baik, kepedulian, dan perhatian yang kuat terhadap upaya
pemberantasan korupsi.
Ketiga, kemungkinan akan mendapat
penolakan atau resistensi yang kuat dari terutama DPR. Kita semua tahu
watak dan tabiat anggota dewan kita, bukan?
Kesimpulannya, upaya dan proses depolitisasi KPK
hanya bisa jalan kalau ada undang-undang yang memayunginya dan mendapatkan
restu dari Pemerintah dan/atau DPR.