Rhoma Irama Jadi Presiden, Mungkinkah?
Sumber foto; tempo.com |
Kisah politik republik ini kian riuh menjelang pemilihan
presiden-wakil presiden 2014. Partai politik semakin menggeliat
bermanuver, memilah-milih, menjajaki calon yang dianggap layak maju
sebagai calon presiden-wakil presiden. Orang-orang yang dianggap layak
ini pun mencoba menampilkan diri sebagai sosok yang memang pantas
dipilih partai.
Salah satu keriuhan yang menyedot perhatian publik adalah kesediaan
Rhoma Irama untuk maju sebagai calon suksesor SBY. Lebih heboh lagi,
mantan seterunya di jagad dangdut, Inul Daratista, langsung mengajukan
diri sebagai calon pendamping alias wapres Rhoma Irama. Kalau Rhoma dan
Inul jadi diduetkan, ini benar-benar duat maut, setidaknya versi musik
genre dangdut.
Cerita soal hasrat Inul mendampingi Rhoma kurang mendapat perhatian
media. Hanya ada sepenggal beritanya. Mungkin itu hanya gerak iseng
media yang ingin memprovokasi suasana. Maklum, yang dirilis adalah
ucapan artis.
Lain halnya dengan berita soal Rhoma Irama. Wacana pencapresannya
menyedot perhatian. Sejauh pengamatan penulis, komentar atas
berita-berita mengenai Rhoma sebagian besar bersifat sinis, sindiran,
kritik, anggap remeh, disertai tudingan “nggak tahu diri dan kepedean”,
dan tudingan-tudingan lainnya. Bahkan ada pengamat yang mengatakan,
anggap saja wacara pencapresan Rhoma sebagai joke of the week.
Ya, begitulah kondisinya. Berbagai kritik tajam itu tentu berangkat
dari persepsi dan pengetahuan mereka atas sepak terjang Rhoma Irama
selama ini.
Tapi, saya kira, reaksi sarkastis masyarakat ini hanya akan mubasir.
Tidak ada gunanya. Maju tidaknya Rhoma sebagai capres tidak ditentukan
oleh kecaman, makian, atau ucapan sejenisnya, tetapi diputuskan oleh
partai politik oportunis yang mencalonkan atau mau mengusungnya.
Yang dibutuhkan saat ini adalah kedewasaan dalam berdemokrasi.
Artinya, kita mesti menghargai dan membiarkan siapa pun warga negara
yang ingin maju dalam pertarungan menuju kursi nomor 1-2 di republik
ini. Hal yang sama berlaku untuk Rhoma, atau siapa pun itu. Apakah
pencalonan diri mereka ini bentuk kegenitan dalam “bertampil di media”,
ya itu hak mereka.
Bagi masyarakat pemilih yang tidak suka dengan Rhoma, mudah saja,
Anda tinggal jatuhkan palu pilihan saat pemilu. Artinya, kalau memang
Rhoma dianggap tidak layak atau tidak memiliki kualifikasi yang mumpuni
sebagai presiden, abaikan saja saat pemilu. Tidak perlu dipilih.
Salah satu hal yang perlu diingat, dalam politik banyak hal mustahil
yang bisa jadi mungkin. Sindiran, kritik, dan segala macamnya untuk
Rhoma bisa jadi akan dijawab oleh kenyataan bahwa Rhoma akan jadi
Presiden RI di 2014.
Tetapi kalau skenario ini keliru, maka setidaknya Rhoma bisa
menggantikan gelar ‘Raja Dangdut” menjadi “Presiden Dangdut” Indonesia.
Minimal, para pendukungnyalah yang menobatkan gelar barunya tersebut.
Atau mungkin Rhoma akan tetap merasa cukup hanya dengan gelar Raja
Dangdut-nya.
*Tulisan ini ditayang di rubrik Kolom www.theindonesianway.com (19/11/2012)