Terlibat Skandal, Pelaku Tak Layak Jadi Gubernur? (#2)
Diskursus mengenai para
calon gubernur dan wakil gubernur NTT, yang siap bertarung dalam pilgub 2018, masih menjadi salah satu topik paling hangat.
Terutama bagi masyarakat, baik yang tinggal di wilayah NTT maupun yang tersebar
di berbagai kota perantauan.
Salah satu isu yang
diangkat adalah dugaan (disebut dugaan sebab belum ada pengakuan secara publik
dari pelaku) affair yang pernah dilakukan seorang calon gubernur.
Terkait
dengan isu ini, dalam catatan sebelumnya (baca Skandal Cagub, Masuk Moral Privat atau Publik?), saya berpendapat, dugaan skandal itu bukan masalah moral privat yang tabu untuk disorot dan diskusikan di
ruang dan oleh publik.
Pertanyaannya, apakah skandal masa lalu ini menjadi alasan seseorang dianggap tak layak maju sebagai calon
gubernur, apalagi menjadi seorang
gubernur (baca: pemimpin)? Ini menjadi pertanyaan krusial supaya kita tidak
menilai calon secara hitam-putih.
Sebelum menjawab
pertanyaan tersebut, ada baiknya kita coba melihat sejumlah respon yang muncul
ketika masalah dugaan affair calon gubernur ini kembali diangkat ke
permukaan.
Pertama,
memakluminya sebagai khilaf. Alasan ini logis saja. Sebab, manusia bukan malaikat
atau dewa. Siapapun dia, selama sebagai manusia, pasti tidak akan pernah alpa
dari khilaf. Rupanya saja yang berbeda antara satu dengan yang lainnya.
Kedua,
manusia bisa memperbaiki diri. Perilaku masa lalu tidak perlu dipermasalahkan lagi
ketika pelaku sudah berkomitmen untuk tidak mengulanginya. Yang berlalu,
biarlah berlalu. Sebab, kita sedang berjalan ke arah masa depan.
Ketiga,
kalau sudah diselesaikan, entah secara kekeluargaan/adat, affair sang calon gubernur tidak perlu dianggap sebagai skandal
lagi. Penyelesaian secara kekeluargaan ini dianggap sebagai “sapu” penghilang
noda sang cagub.
Hanya saja, apakah dengan
tiga pendapat di atas lantas membuat dugaan skandal sang calon dianggap
tabu untuk dibahas dalam konteks pemilihan gubernur NTT?
Tentu saja tidak. Persoalan
itu wajar dan lumrah untuk terus disorot oleh siapapun. Bahkan dijadikan sebagai
materi kampanye yang “seksi” oleh para lawan politik. Itulah resiko politik
yang harus siap dihadapi. Apalagi, masalah skandal seks ini, suka atau tidak
suka, merupakan salah satu bagian dari
rekam jejak hidup sang calon.
Kembali ke pertanyaan
mendasar. Apakah affair membuat pelaku tidak layak menjadi calon dan
gubernur NTT?
Pertanyaan tersebut sulit
atau tidak bisa direspon dengan jawaban “ya” atau “tidak”. Melihat persoalan
secara hitam dan putih akan membuat kita terjebak dalam cara berpikir yang simplistis.
Oleh sebab itu, mungkin dua hal berikut bisa menjadi pertimbangan.
Pertama,
biarkan masalah kelayakan dan ketidaklayakan itu menjadi keputusan pribadi para
pemilik suara di pilgub NTT. Apapun
keputusan pemilih, kita perlu hormati dan apresiasi.
Kedua,
mempertimbangkan seseorang jadi pemimpin tidak bisa hanya dilihat dari satu
aspek. Artinya, dalam mengevaluasi dan menilai calon, kita tidak bisa
menggunakan satu ukuran saja. Itu namanya tidak adil.
Kriteria kelayakan seorang
gubernur harus menyangkut beragam aspek. Ia tidak hanya dituntut memiliki kecakapan
intelektual, wawasan yang luas, pengetahuan yang memadai, reputasi dan
integritas moral yang baik, tetapi juga tegas dan berani dalam bertindak dan
mengeksekusi kebijakan.
…bersambung…
Catatan:
Tulisan ini tidak bermaksud
mendiskreditkan calon gubernur tertentu, tetapi sekedar berbagi perspektif.