-->

Mendiagnosa “Penyakit” Pelaku Teror

Hari-hari ini kita disuguhi beragam berita tentang aksi teror bom bunuh diri di sejumlah tempat. Mulai dari kerusuhan di Mako Brimob Depok, teror bom di Surabaya dan Sidoarjo, hingga serangan ke Markas Besar Polda Riau.  

Sebagaimana diketahui, rangkaian serangan bom bunuh diri yang dilancarkan kelompok teroris tersebut telah menelan korban jiwa, baik yang meninggal, maupun yang luka-luka.  Korban berasal dari aparat, pelaku teror, dan masyarakat sipil.

Pertanyaan krusialnya, mengapa para pelaku teror ini nekad melakukan “serangan bunuh diri”? Mengapa mereka begitu tega dengan sengaja dan terencana membunuh orang-orang yang sama sekali tidak bersalah? Apa sebetulnya yang ingin mereka kejar, surga atau kepentingan lain?

Banyak analisis yang berupaya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Sebagian kalangan mengaitkannya dengan masalah kemiskinan atau ketidakadilan. Sebagian lagi menautkannya dengan masalah ideolog, bahkan politik.

Dari beragam pandangan tersebut, salah satu hal, yang menurut saya, jauh lebih penting untuk dicerna adalah masalah indoktrinasi. Bentuk penggemblengan suatu paham atau doktrin untuk melihat kebenaran hanya dari satu sumber, atau dari sudut pandang tunggal semata.

Pertanyaannya, mengapa para pelaku teror ini menerima begitu saja doktrin, misalnya, bahwa dengan bom bunuh diri dia bisa masuk surga? Atau apa yang menyebabkan mereka yakin bahwa tindakan menghilangkan nyawa kaum yang tidak sejalan dengan keyakinan dan tujuan mereka dianggap halal?

Saat coba membaca dan menafsirkan tindakan para teroris ini, saya jadi teringat dengan analisis filsuf perempuan Jerman, Hannah Arendt, atas tindakan Adolf Eichmann yang menjadi kepala eksekutor para tahanan Nazi Jerman di kamp konsentrasi di bawah pemerintahan Adolf Hitler. 

Sekedar mengingatkan, ideologi negara totaliter ala Hitler mengharuskan masyarakat tunduk patuh tanpa kritis pada kemauan negara. Negara yang dimaksud pun tidak lain kecuali sang “Fuhrer” Hitler. Yang mengerikan, pemerintahan totaliter memiliki kecenderung menghalalkan kekerasan.

Hugh Purcel, dalam bukunya “Fascism” (2000) mendeskripsikan bahwa rezim fasis yang dibangun oleh Adolf Hitler merupakan negara yang paling berkuasa dan merusak dalam sejarah dan era negara modern. Alasannya sederhana. Dalam pemerintrahannya, Hitler membangun mesin teror dan polisi rahasia untuk mengontrol dan mengendalikan organ negara. Eichmann bekerja dan menjadi bagian penting dari sistem super represif ini.

Menurut Arendt, saat mengeksekusi para tahanan, Adolf sama sekali mengabaikan kemampuannya untuk “menilai tindakannya.” Menilai tindakan berarti memberi pertimbangan secara mandiri apakah tindakan itu benar atau salah. Mencoba melihat secara imajinatif dampak tindakan dari sudut para korban. Dan memberi evaluasi tindakan dengan menyertakan perasaan empati.

Prinsip-prinsip “menilai” itulah yang sepi dari tindakan Adolf Eichman. Dia hanya tunduk pada doktrin Hitler. Bagai mesin mati yang tidak punya hati. Patuh tanpa bantahan. Dampaknya, jutaan nyawa hilang. Atas kejahatannya ini, dia kemudian dihukum mati dan digantung saat tengah malam 31 Mei 1962 di Israel.

Lantas, apa hubungannya dengan para pelaku teror atau teroris? Pengalaman Ecihmann jelas banyak berbeda dengan para pelaku teror yang menghantui kita dua pekan terakhir ini. Tetapi, kesamaan antara mereka adalah soal kepatuhan pada doktrin. Mereka sama-sama tidak punya kemampuan untuk “menilai”, juga mati rasa, dan tidak memiliki empati.

Dalam artikel ‘The Psychology of Terrorism’ di Psychologytoday, Steve Taylor, dosen senior di bidang psikologi di Leeds Metropolitan University Inggris, mengatakan apa yang membuat teroris berbeda adalah kemampuan mereka untuk “mematikan” rasa empati demi keyakinan dan tujuan yang ingin mereka capai (baca di sini).

Berdasarkan deskripsi di atas, saya berkesimpulan, teror bom bunuh diri tidak terutama disebabkan oleh masalah kemiskinan, ketidakadilan, atau bahkan ideologi, tetapi pada  “lemahnya kemampuan untuk menilai dan minimnya perasaan empati” dari para pelaku. Kita sedang menghadapi robot atau mesin yang mati rasa.

Jadi, masalah teror itu terutama ada pada masing-masing pelaku. Persoalan kemiskinan, ketidakadilan, ideologi, atau politik hanyalah pelengkap. Mengapa? Kalaupun miskin, tapi jika punya empati, bom bunuh diri itu tidak akan terjadi. Kalaupun menjadi korban ketidakadilan, tetapi kalau orang itu memiliki perasaan empati dan mempu menilai tindakannya, membunuh orang-orang yang tak bersalah itu mustahil dilakukan. Kalau empati manusiawi itu ada, indoktrinasi ideologi yang menghalalkan pembunuhan tidak akan mempan merasuki  jiwa dan tubuh para pelaku teror.

Deretan kesimpulan logis bisa kita perpanjang. Tapi, saya kira tidak perlu diuraikan secara detail di sini. Pesan pentingnya, proses deradikalisasi dan deindoktrinasi terhadap para pelaku teror baiknya juga memperhatikan dan menyentuh masalah yang terkait dengan empati dan kemampuan untuk menilai tindakan ini. 

Dengan kata lain, menghidup-kembangkan perasaan empati dan melatih kemampuan untuk menilai tindakan perlu masuk dalam materi proses deradikalisasi dan deindoktrinasi para tahanan teroris yang saat ini jumlahnya sudah mencapai ratusan orang.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel