Jusuf Kalla Sebaiknya Belajar dari Ahok
Sumber foto: metrotvnews.com |
Salah satu poin
penting dari arsitektur kabinet ini adalah porsi menteri antara menteri
dari partai politik dan profesional. Jokowi mengatakan, kabinetnya akan
diisi oleh 18 orang dari profesional non-partai dan 16 orang dari
profesional partai. Komposisi ini memang dianggap mengingkari komitmen
Jokowi sebelumnya yang menegaskan bahwa kabinetnya akan didominasi
kalangan profesional non-partai.- Info lengkapnya bisa baca di sini
Tapi, Jokowi mungkin
memang harus mempertimbangkan realitas politik saat ini, dimana mau tak
mau ia harus memberikan kesempatan kepada orang parpol penyokongnya
untuk masuk dalam kabinet. Sebab, ia juga butuh dukungan dan soliditas
parpol pendukungnya di parlemen. Toh, menteri dari kalangan profesional
pun belum tentu semuanya bagus sesuai dengan yang diharapkan.
Langkah Jokowi yang
menempatkan orang non-partai untuk posisi Menteri Perdagangan, Menteri
Keuangan, Menteri BUMN, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, patut
diapresiasi. Beberapa pos ini memang sangat penting, jangan sampai jadi
ladang bagi parpol untuk mengeruk keuntungan.
Hanya saja, yang
mengherankan penulis, hari ini (Selasa, 16/09/2014), Jusuf Kalla justru
mengeluarkan pernyataan yang berlawanan dengan apa yang dinyatakan oleh
pasangan ini kemarin. Dalam berita yang dilansir Detik.com, Jusuf Kalla
malah menyebutkan bahwa hanya 7 Kementerian yang bakal diisi oleh
profesional murni. “Murni profesional cuma 7 mutlak. 27 Sisanya bisa
dari parpol,” ujar JK di kediamannya, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan,
Selasa (16/9/2014) – baca di di sini
Kita pun bertanya, apa
yang sebenarnya terjadi? Apakah memang antara Jokowi dan JK tidak
benar-benar sepakat dengan postur kabinet yang mereka umumkan kemarin?
Apakah benar dugaan sebagian kalangan bahwa Jokowi saat ini sebetulnya
sedang mendapatkan tekanan dari parpol-parpol penyokongnya, dari
Megawati, dan wakilnya Jusuf Kalla?
Jokowi memang
sebaiknya tidak boleh menafikan peran parpol-parpol pendukungnya, peran
Jusuf Kalla, dan Megawati. Masukan dan saran-saran bagus dari mereka
sepatutnya didengar. Namun, kalau saran-saran itu berpotensi menghambat
jalannya pemerintahan, maka sebaiknya diabaikan saja. Kita berharap,
komitmen Jokowi untuk meminta menteri tidak rangkap jabatan di parpol
benar-benar dijalankan, walaupun Puan Maharani secara terbuka tidak
sepakat dengan ide ini.
Khusus untuk Jusuf
Kalla, tidak ada salahnya untuk belajar dari Ahok yang biasanya dengan
tegas mengaku selalu melapor dan berkoordinasi dengan Jokowi saat
memimpin DKI. Sosok yang secara gamblang menegaskan bahwa dirinya
hanyalah seorang wakil yang mendukung tugas gubernur. Memang, tugas
utama seorang wakil adalah menyokong atasannya. Kalau ada perbedaan
pendapat, tidak perlu diumbar ke media, yang justru memberi kesan
negatif kalau keduanya tidak sepakat dan tidak sejalan dengan sebuah
keputusan atau kebijakan, termasuk ketika bicara soal postur kabinet.