Perpu Pilkada, Tipuan Jitu Presiden SBY?
Sumber foto: tribunews.com |
Perdebatan mengenai pilkada melalui DPRD masih ramai dibicarakan.
Sebagaimana diketahui, pengesahan UU Pilkada dalam paripurna DPR
beberapa waktu lalu menuai reaksi keras yang begitu masif dari
masyarakat. Banyak elemen masyarakat yang tidak setuju dengan mekanisme
pilkada lewat DPRD.
Sosok yang menjadi kambing hitam atas pengesahan UU Pilkada ini adalah
Presiden SBY. Banyak orang yang menghujatnya lantaran Demokrat
meninggalkan ruang sidang paripurna sebelum berlangsung pemungutan suara
atas RUU Pilkada.
Kecaman dan kemarahan masyarakat itu logis sebab dalam beberapa
kesempatan SBY selalu menegaskan pendiriannya mendukung mekanisme
pilkada langsung. Tapi komitmen ini tidak sejalan dengan sikap Fraksi
Demokrat di DPR. Fakta ini menguatkan kecurigaan masyarakat kalau SBY
hanya “pura-pura” dukung pilkada langsung demi “penciteraan”.
Yang menarik, SBY tetap keukeuh mengeskan bahwa ia benar-benar mendukung
mekanisme pilkada langsung. Untuk menepis keraguan masyarakat, SBY
kemudian meneken dua peraturan pemerintah pengganti undang-undang untuk
membatalkan UU Pilkada via DPRD.
Penerbitan perpu tersebut bertujuan mengembalikan mekanisme pemilihan
kepala daerah secara langsung. Pertanyaannya, apakah perpu ini langsung
berlaku dan otomatis membatalkan UU Pilkada yang mengatur pilkada lewat
DPRD? Tentu saja tidak. Perpu itu tetap memerlukan persetujuan dari DPR.
Itulah mekanisme proseduralnya. Nah, justru di situ persoalannya.
Coba
lihat komposisi anggota DPR periode 2014-2019. Koalisi Indonesia Hebat
terdiri dari PDIP 109 kursi, PKB 47 kursi, Nasdem 35 kursi, Hanura 16.
Totalnya adalah 207 kursi. Sementara Koalisi Merah Putih terdiri dari
Golkar 91 kursi, Gerindra 73 kursi, PAN 49 kursi, PKS 40 kursi, PPP 39
kursi. Totalnya ada 292 kursi.292 kursi. Seandainya dilakukan voting,
maka angka head to headnya adalah 207 versus 292. Kalau kita asumsikan
Demokrat (61 kursi) masuk di Koalisi Indonesia Hebat, maka angka head
to headnya adalah 268 versus 292.
Dari kalkulasi tersebut, jelas terlihat, kalau nanti Perpu Pilkada ini
dibawa ke paripurna DPR dan di-voting, ya otomatis Koalisi Merah Putih
akan menang. Kalau KMP menang, maka UU Pilkada yang mengatur pilkada tak
langsung tetap berlaku dan perpu dianggap gugur. Dalam konteks ini,
Perpu Pilkada yang dikeluarkan SBY sebetulnya tidak ada gunanya.
Perpu Pilkada yang dikeluarkan SBY baru bisa lolos kalau konstelasi
koalisi di perlemen berubah. Nah, kalau memang SBY dan Demokrat serius,
maka mereka harus tunjukan keseriusan dalam lobi-lobi di DPR. Tapi kalau
yang terjadi sebaliknya, langkah SBY ini layak kita cap sebagai “geliat
menipu” sekedar menyelamatkan diri dari kecaman masyarakat. SBY memang
rajanya untuk “pencitraaan palsu.”
Saya kira, elemen masyarakat sipil dan masyarakat yang tidak setuju
dengan pilkada tak langsung tidak perlu menganggap serius perpu pilkada
ini. Artinya, materi untuk menggugat UU Pilkada di Mahkamah Konstitusi
tetap harus disiapkan. Bila perlu segera didaftarkan.
*Artikel ini sebelumnya penulis posting di sini