Kritik: Nutrisi Demokrasi
Sumber gambar: google |
Hari-hari ini kita barangkali sudah membaca atau
mendengar sedikit riak perdebatan atas kritik mantan Ketua MPR Amien Rais
kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi). Sebagaimana diketahui, dalam setiap
kunjungan ke daerah, Presiden Jokowi kerap membagikan sertifikat tanah secara
langsung kepada masyarakat. Amin Rais menganggap langkah Presiden Jokowi ini
adalah bentuk tindakan pengibulan atau pembohongan.
Kritik Amien Rais ini mendapat reaksi keras dari
Menko Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan (LBP). Menurutnya, kritik Amien Rais
tidak berdasar dan asal bunyi. Ia pun mengklaim bahwa pemerintah sebetulnya
tidak anti kritik. Namun, dia menganjurkan, kritik yang dialamatkan ke
pemerintah sebaiknya adalah kritik yang membangun, harus merujuk pada fakta dan
data.
Kita tidak perlu masuk terlalu jauh ke polemik
Amien Rais versus LBP tersebut, misalnya menilai siapa yang benar, siapa yang
salah. Isu yang mendesak untuk kita refleksikan justru mengenai sejauh mana,
seperti apa, dan bagaimana peran kritik dalam sistem negara demokratis. Dengan
demikian, kita bisa memahami, memaknai, dan mengambil manfaat darinya.
Untuk merefleksikan isu mendesak tersebut, kita
bisa mulai dengan menelusuri kembali arti dan makna konsep ruang publik yang
menjadi tempat dan medan proses demokratisasi berlangsung. Kita boleh merujuk
ke penulis buku 'The Human Condition', Hannah Arendt. Ia pernah menegaskan
bahwa ruang publik adalah tempat bagi setiap warga negara bebas bertindak
bersama melalui tindakan wicara dan persuasi.
Dalam dan melalui ruang publik, setiap warga
negara punya hak untuk menyampaikan pendapat, gagasan, aspirasi, bahkan kritik.
Keberadaan ruang interaksi dan partisipasi yang dibuka secara luas inilah yang
menjadi salah satu jantung dan ciri khas dari sistem dan praktek demokrasi.
Hanya saja, harus diingat, interaksi gagasan,
aspirasi, atau kritik yang terjadi dan disampaikan melalui ruang publik itu
tidak bisa dilakukan secara asalan, semau
gue, atau suka-suka. Diskursus tersebut sebaiknya dijalankan dan dikemas
berdasarkan pertimbangan yang kritis, rasional, dan objektif. Didukung data dan
fakta yang juga sudah relatif terverifikasi atau terkonfirmasi.
Diskursus yang dibangun dan berbasiskan data atau
informasi hoaks dan manipulatif adalah bentuk nyata pelecehan terhadap
rasionalitas dan keadaban berdemokrasi. Akan lebih biadab lagi kalau informasi
hoaks itu justru sengaja diproduksi dengan maksud untuk mendiskreditkan pribadi
tertentu atau kelompok lain.
Tuntutan untuk menjalankan diskursus beradab tidak
hanya berlaku bagi seluruh warga negara yang berpartisipasi, tetapi juga
terutama para elite politik, wakil rakyat, pemerintah atau penyelenggara negara
lainnya.
Proses diskursus beradab tidak berhenti sampai di
situ. Sebab seluruh penjelasan tersebut masih berkutat pada cara, bukan tujuan.
Seluruh proses diskursus harus diletakkan sebagai bentuk koreksi terhadap
beragam kelemahan atau kekurangan, yang kemudian diarahkan untuk menciptakan
atau merumuskan keputusan, kebijakan, dan tindakan konkret lain yang dianggap lebih
baik dan bermanfaat, terutama bagi rakyat banyak.
Dalam konteks inilah kritik bisa disebut sebagai
salah satu nutrisi dasar demokrasi sehingga bisa hidup dan berkembang. Kritik adalah
elemen konstitutif (wajib ada) dalam proses pendemokrasian demokrasi. Tanpa
kritik, demokrasi akan mati. Hanya negara despotik, fasis, dan totaliter yang selalu
berusaha untuk menihilkan kritik.
Untuk mencapai kedewasan dan kematangan
demokrasi, semua pihak –terutama para elite politik- dituntut untuk menunjukkan
sikap responsif terhadap beragam kritik. Bukan sikap reaktif. Sebab, sikap
responsif, dalam bahasa penulis dan motivator James Lee Valentine, merupakan
bentuk sikap yang bertanggung jawab dan mencipta dari situasi yang sedang
berkembang. Sementara sikap reaktif adalah representasi dari mental kekanak-kanakan.